Aku sangat amat bersedih saat berdiri di atas hamparan kain pada pertengahan malam. Entah mengapa, air mata menetes walau ruangan begitu senyap dan sunyi. Di saat itu aku sadar, aku telah kehilangan rumah tempat aku bersandar dan merasa aman.
Aku pun berharap kepada Sang Pencipta, agar menjaganya dan tak membiarkan siapapun menyakitinya. Aku tersungkur di atas hamparan itu, memegang dadaku yang sedikit perih, lalu berbicara pada diriku sendiri,
“Hai kamu yang sedang bersedih, kuat-kuat ya. Ingat, ini semua berdasarkan keputusanmu.”
Lalu aku sadar, semua ini tak akan terjadi jika Tuhan tak menghendaki. Aku mengerti, pasti ada sesuatu di balik semua kejadian ini.
Aku berharap kita bisa mencoba lagi, dan aku ingin memperbaiki semuanya.
Ternyata aku bukan seperti laki-laki pada umumnya, yang bisa mengabaikan kehilangan seseorang dengan mudah. Justru aku malah merasakan gelisah, sedih, bahkan sampai depresi kecil.
Aku berpikir bahwa hari ini hanya akan menjadi satu tetesan air mata, tapi beberapa waktu kemudian, air mata itu kembali jatuh saat matahari menyelimuti. Di bawah hangatnya cahaya pagi itu, aku hanya berharap dia mau menerima aku sekali lagi.
Setelah itu, Aku duduk di atas meja dan melihat gambaran yang dia tinggalkan pada hari ke-27, terus terpatri di pikiranku, aku tak bisa berhenti memandangkannya, seolah itulah satu-satunya penghibur di tengah kesendirianku.
Seketika aku teringat dengan jelas momen pada hari ke-24 periode ke dua itu, ketika kamu dengan lembut mengajak aku bicara tentang hubungan kita yang mulai terasa dingin dan tak lagi hangat seperti dulu. Perasaan itu seperti bayangan yang makin nyata, membuatku sadar bahwa ada jarak yang mulai terbentuk di antara kita.
Keesokan harinya, di lapangan yang teduh dan penuh kenangan, aku bertemu denganmu. Kita duduk bersama, berbincang dari hati ke hati. Dalam suasana itu, kamu mengucapkan satu kalimat yang sangat berarti bagiku, yang membuatku terdiam dan merenung dalam-dalam, “Terima kasih sudah cerita, jadi aku faham kenapa kamu seperti itu.”
Kalimat itu bukan hanya kata-kata biasa, tapi seperti kunci yang membuka pintu pemahaman baru dalam hubungan kita. Aku mulai menyadari betapa pentingnya komunikasi dan keterbukaan, sekaligus bagaimana perasaan yang selama ini kusembunyikan ternyata memberi dampak yang besar pada kita berdua.
Sejak saat itu, aku terus memikirkan apa arti semua ini, dan berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara kita. Kenangan itu menjadi titik balik bagiku untuk lebih jujur pada diri sendiri dan juga padamu.
Pada akhirnya semua terjawab karena pada pertengahan malam aku berdiri di atas hamparan kain, ternyata aku salah menyimpulkan apa yang orang tua ku bicarakan, padahal mereka memaknai ucapan itu “ jangan salah memilih orang”. akhirnya aku menyampaikan kepadanya, dan kami mulai saling memahami